LAME-DUCK: PROBLEMATIKA MASA TRANSISI PEJABAT PUBLIK
Berbeda dengan hajatan demokrasi 5 tahunan yang lalu, tahun 2019 merupakan suatu momentum bagi bangsa Indonesia melaksanakan pemilu secara serentak untuk memilih presiden, anggota legislatif nasional dan daerah (DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota) pada waktu yang bersamaan. Selain daripada itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menetapkan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Periode Tahun 2019-2024 pada 30 Juni 2019. Dengan penetapan ini, kedua pasangan terpilih akan dilantik secara resmi sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024 pada Oktober 2019. Namun, jeda waktu masa peralihan transisi pemerintahan yang terlalu lama dapat berimbas pada terganggunya roda pemerintahan yang masih berjalan, dan keefektifan pelaksanaan kebijakan. Banyak perhatian publik tertuju pada upaya DPR mengesahkan berbagai undang-undang, yang diantaranya mengusulkan untuk memperluas kekuasaan negara hingga ranah privat warga negara; mendefinisikan kembali hubungan antara lembaga pemerintah dan lembaga independen negara, terutama undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); dan mendefinisikan kembali hak-hak ekonomi yang mengatur sumber daya alam, termasuk tanah dan air, juga dalam hubungan antara tenaga kerja dan modal.
Komposisi anggota DPR baru saja mengalami pergantian setelah melewati masa pemilihan anggota DPR baru pada April 2019, dimana setengah dari anggota parlemen pensiun atau tidak terpilih kembali. Periode transisi antara terpilihnya pejabat hingga diangkatnya pejabat yang baru terpilih, memunculkan perilaku tertentu terkait dengan kebijakan dan kekuasaan jabatan yang disebut sebagai lame-duck. Hal ini memunculkan pertanyaan yang jelas mengapa undang-undang ini tidak disahkan sebelum pemilu karena sebagian besar telah berada di meja penyusunan selama beberapa tahun. Salah satu jawaban adalah karena anggota parlemen khawatir bahwa pengesahan undang-undang kontroversial sebelum pemilihan akan membuat mereka kehilangan suara. Reaksi masyarakat saat masa pemilihan umum menunjukkan bahwa pembuat undang-undang jelas memperhatikan dan oleh karena itu menghindari mengesahkan undang-undang. Tindakan mengesahkan suatu undang-undang sebelum pemilihan memungkinkan anggota DPR untuk menegakkan akuntabilitas atas tindakan legislatif mereka, daripada mencoba menyelipkan undang-undang setelah masa pemilu berakhir.
Adanya defisit akuntabilitas selama periode lame-duck memunculkan kekhawatiran terhadap pejabat yang bersangkutan, dan juga berkaitan dengan lamanya periode lame-duck yang ada. Pemilihan legislatif yang berlangsung pada bulan April, lebih dari lima bulan sebelum DPR baru dilantik bulan Oktober. DPR secara berturut-turut telah menunjukkan kapasitas untuk dengan cepat memindahkan rancangan undang-undang yang tampaknya mandek ke dalam undang-undang yang disahkan. Mempersingkat periode lame-duck mungkin tidak serta-merta mencegah pengesahan undang-undang yang tidak disahkan DPR sebelum pemilihan. Maka, salah satu solusi lain yang mungkin adalah membatasi kapasitas DPR untuk meloloskan undang-undang selama waktu pascapemilu ini. Pengecualian yang jelas untuk pembatasan ini harus tetap ada adalah kapasitas DPR untuk menyetujui atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang diajukan oleh presiden. Pengawasan akan terus berlanjut seiring dengan berlanjutnya operasional pemerintahan selama periode ini.
Secara historis, fenomena lame-duck pertamakali dikaji secara ilmiah di Amerika Serikat. Sesi Kongres lame-duck adalah sesi yang berlangsung setelah pemilihan untuk Kongres berikutnya diadakan, tetapi sebelum Kongres mencapai akhir masa jabatan konstitusionalnya. Sedangkan, reses sebelum sesi lame-duck biasanya dimulai pada pertengahan Oktober dan berlangsung antara satu sampai dua bulan. Kongres biasanya diadakan kembali pada pertengahan November dan ditunda sebelum Natal, sehingga sesi lame-duck berlangsung sekitar satu bulan. Sebelum adopsi Amandemen Kedua Puluh Konstitusi yang terjadi pada tahun 1933, Kongres baru diadakan pada bulan Desember tahun ganjil, sehingga memungkinkan Kongres yang baru pasca-pemilihan untuk bertemu dan meloloskan undang-undang selama lebih dari satu tahun. Amandemen 1933 mengubah tanggal diadakannya Kongres baru menjadi 3 Januari tahun ganjil, mempersingkat waktu antara pemilihan dan awal Kongres berikutnya menjadi hanya dua bulan. Sejak saat itu, Kongres telah bertemu dalam sesi-sesi lame-duck untuk menyelesaikan urusan yang mendesak atau belum selesai. Perubahan ini dilakukan melalui Lame Duck Amendment, tanggal peresmian pelantikan dipindahkan dari 4 Maret menjadi 20 Januari. Amandemen tersebut juga mengubah tanggal pembukaan Kongres baru menjadi 3 Januari, sehingga menghilangkan sesi kongres yang diperpanjang. Sesi lame-duck (1940-Sekarang) berlangsung ketika Kongres sesi setelah pemilihan November dan sebelum awal Kongres baru.
Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely merupakan pernyataan Lord Acton yang mengimplikasikan bahwa suatu jabatan mengandung kekuasaan didalamnya bagi pengemban jabatan tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaturan terhadap kekuasaan seorang pejabat agar segala tindakan dan perbuatan pejabat tersebut dapat dipertanggung-jawabkan. Seorang politisi dan pejabat yang akan meninggalkan jabatannya disebut sebagai lame-duck adalah karena pejabat tersebut memiliki kekuasaan yang jauh lebih kecil daripada di awal masa jabatannya. Diakhir masa jabatan pejabat publik, semua orang mengetahui bahwa pejabat negara tersebut akan meninggalkan kantor dan jabatannya. Oleh karena itu, seringkali tidak ada gunanya mengesahkan undang-undang atau keputusan baru yang mungkin disukai pejabat saat ini. Selain itu, pejabat negara yang akan datang mungkin membalikkan semua perubahan yang dilakukan sebelumnya. Sebagai contoh dari Amerika Serikat, pada akhir masa kepresidenan Bill Clinton tahun 2000-2001. Meskipun masih menjadi Presiden Amerika Serikat, Clinton membuat proposal legislatif yang sangat sedikit dan memiliki profil yang relatif rendah dalam politik. David Schultz, seorang Profesor ilmu politik Universitas Hamline berbicara tentang tindakan yang dapat diambil oleh presiden selama periode lame-duck, antara lain bagaimana presiden dapat menggunakan pengampunan (pardons) dan peraturan presiden (executive order) selama periode ini.
Pada periode lame-duck, tim sukses pejabat terpilih terkadang tidak hanya mulai bergerak untuk melakukan persiapan transisi, tetapi terkadang juga secara tidak langsung melakukan intervensi politis. Sebaliknya, ditemukan pula pejabat yang menggunakan periode lame-duck sebagai sarana untuk mendapatkan dan memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh selama masih menjabat karena mengetahui dirinya tidak lagi terpilih atau sudah memasuki masa purnabakti. Kesempatan ini dimaksimalkan untuk memberikan keuntungan bagi dirinya dan/atau kelompok pendukungnya. Pada sisi lain, pejabat yang sudah memasuki masa purnabakti tersebut dapat melakukan manuver tertentu. Contoh Presiden Donald Trump di Amerika Serikat dan Jendral Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI di Indonesia. Dengan menggunakan berbagai kekuatan yang tersedia, baik Presiden sebagai pejabat eksekutif maupun legislatif yang sedang menjabat dapat menggunakan masa transisi untuk mencoba mengamankan warisannya atau mempengaruhi perubahan kebijakan. Seorang Presiden terpilih, setelah menjabat, dan bersemangat untuk menetapkan agenda kebijakannya dan mengisi pemerintahan dengan orang-orang yang ditunjuk, akan terlibat dalam sejumlah keputusan dan kegiatan, beberapa di antaranya mungkin mengubah atau membatalkan tindakan Pemerintahan sebelumnya.
Inti dari transisi jabatan mencakup sejumlah kegiatan, dimulai dengan perencanaan pra-pemilu dan berlanjut pada saat pelaksanaan. Proses tersebut harus dipastikan terjadi secara transparan dan akuntabel. Transisi presidensial memfasilitasi pembentukan administrasi baru dan mempersiapkannya untuk memerintah. Selain itu untuk merencanakan transisi, presiden membantu memastikan keamanan dan ketertiban negara. Perpindahan kekuasaan yang lancar dan teratur pada umumnya merupakan ciri transisi pemerintahan republik, dan merupakan bukti legitimasi dan daya tahan proses pemilu dan demokrasi. Oleh karena itu, perlu ditemukan titik keseimbangan antara aspek pelemahan pejabat petahana dengan aspek penyalahgunaan kekuasaan. Dengan adanya polarisasi ini pada masa lame-duck, maka perlu dilakukan pembentukan regulasi terhadap masa transisi pemerintahan secara singkat di Indonesia untuk meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan yang dapat terjadi pada sistem pemerintahan yang sedang berjalan.
disadur pada artikel LAME-DUCK: PROBLEMATIKA MASA TRANSISI PEJABAT PUBLIK
Penulis : Gede Khrisna Kharismawan (Mahasiswa MIH Universitas Gadjah Mada)
Sumber : https://rechtsvinding.bphn.go.id