Kajian Analisis terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Seiring berkembangnya pemanfaataaan dan penggunaan internet dan teknologi informasi sebagai media bertransaksi dan komunikasi secara elektronik menjadikan aktivitas sehari-hari kita menjadi lebih mudah dan cepat. Namun di sisi lain, ada beberapa dampak yang mempengaruhinya antara lain meningkatnya kejahatan cyber. Keamanan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan kejahatannya beradu dalam berbagai persoalan. Hal ini sesuai penjelasan umum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bahwa pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan pada teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya yang secara signifikan berlangsung dengan cepat (Wahyu Agus Winarno, 2011: 43).
Teknologi informasi disamping memberikan manfaat luar biasa dalam kehidupan sehari-hari, tidak dipungkiri menjadi pisau bermata dua, disebabkan selain memberikan kontribusi positif bagi peningkatan kesejahteraan dan kemajuan peradaban manusia, tetapi sekaligus menjadi sarana efektif melakukan tindak pidana. Kegiatan melalui media elektronik meskipun bersifat virtual, dapat dikategorikan sebagai tindakan nyata. Secara yuridis kegiatan pada ranah maya, tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja, disebabkan akan terlalu banyak hal yang lolos dari pemberlakuan hukum (Tika Andarasni Parwitasari, tanpa tahun : 88).
Pemerintah Indonesia pada tanggal 21 April 2008 menetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE/ UU ITE). Undang-Undang ini memiliki yurisdiksi berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur UU ITE, baik yang berada dalam yurisdiksi Indonesia yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan negara.
Masifnya perkembangan media informasi dan transaksi elektronik memunculkan berbagai macam tindak pidana baru. Seringkali UU ITE disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk membuat laporan kepada pihak berwenang dan menyerang balik. Undang-Undang ITE dimaknai mengakibatkan keberlakuannya pasal karet. Contoh pada beberapa kasus Prita Mulyasari, Irfani, Baiq Nuril, Saiful Mahdi, Saridin Bangun, Cunheng, Jerinx, LBH Padang dan lainnya.
Pemerintah membuat kesepakatan difasilitasi Kemenko Polhukam, mengundang Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, dan Jaksa Agung untuk menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Kriteria Implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (SKB UU ITE). Harapannya agar penegakan hukum UU ITE tidak menimbulkan multitafsir dan menjamin terwujudnya rasa keadilan masyarakat (Kominfo, 23 Juni 2021). Terbitnya SKB UU ITE bukan menjadi jaminan tidak adanya upaya kriminalisasi, seperti kasus LBH Padang.
Kasus LBH Padang
Lembaga Bantuan Hukum Padang (LBH Padang) menyampaikan adanya dugaan pembungkaman partisipasi publik yang dilakukan Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Polda Sumbar). Bermula saat LBH Padang mengawal dugaan korupsi dana Covid-19 di Sumatera Barat. LBH Padang mengambil peran pengumpulan data dan dokumen serta kampanye publik. Pada 29 Juni 2021, LBH Padang mengeluarkan sebuah “meme” mengkritik sikap Polda Sumbar atas penghentian penyelidikan dugaan korupsi dana Covid-19 dengan alasan kerugian negara telah dikembalikan sebesar Rp 4,9 miliar, sehingga tidak memenuhi syarat materiil sesuai ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. LBH Padang menanggapi penghentian penyelidikan tersebut. Akun LBH Padang mengunggah karikatur tentang penghentian penyelidikan dengan dugaan kerugian negara sebanyak 4,9 miliar (Andika Rahma, 15 Agustus 2021). Polda Sumbar selanjutnya melakukan pemeriksaan pengurus LBH Padang dengan delik dugaan tindak pidana menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) berdasarkan Pasal 28 ayat (2 ) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU ITE.
Apabila mencermati Surat Keputusan Bersama UU ITE, meliputi Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 27 ayat (3), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE, delik utama pada Pasal 28 ayat (2) tersebut menyatakan perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasarkan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Apa yang dilakukan pengurus LBH Padang mengunggah karikatur di akun instagram nya, menurut penulis merupakan bentuk protes atas tindakan aparatur penegak hukum menghentikan penyelidikan kasus korupsi merugikan negara sejumlah 4,9 miliar. Tidak wajar bila LBH Padang kemudian dipanggil dan diperiksa pihak berwajib dengan alasan melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 A ayat (2) UU ITE.
Judicial Review Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan Judicial Review Undang-Undang ITE, antara lain: Pertama, Pasal 27 ayat (3) digugat di MK tahun 2008 dengan penggugat Iwan Piliang. Pada petitumnya menyebut: 1. Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945; 2. Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kedua, Pasal 27 ayat (3) digugat kembali di MK tahun 2009, oleh penggugat Edi Cahyono, AJI, PBHI, LBH Pers. Petitumnya mencantumkan pasal aquo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28F, dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Materi muatan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dinilai melanggar asas lex certa dan kepastian hukum, sangat berpotensi disalahgunakan, tidak mencerminkan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan menyebarkan informasi serta berpeluang menimbulkan masalah jangka panjang. Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini memang sudah teruji 2 (dua) kali di MK dengan Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008 dan Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009. Putusan MK tersebut menyatakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menegaskan pentingnya pengertian Pasal 27 ayat (3) UU ITE jika merujuk Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP dalam hal ada tuduhan pencemaran nama baik.
Ketiga, Pasal 28 ayat (2) UU ITE digugat di MK pada tahun 2013 dan tahun 2017. Penggugatnya M. Farhat Abbas yang menganggap Pasal 28 ayat (2) ini bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 terkait hak berkomunikasi dan menyampaikan pendapat. Ketentuan ini dinilai telah menimbulkan rasa tidak aman bagi pemohon dan warga negara Indonesia lainnya untuk berekspresi karena sewaktu-waktu dapat dipidana mengingat ancamannya lebih dari 5 (lima) tahun. Rumusan pasal tersebut juga tidak detail sehingga berpeluang digunakan untuk mempidanakan pihak lain (pasal generalis dan karet). Gugatan melalui perkara No. 52 PUU-XI/2013 akhirnya ditolak oleh MK. Mahkamah Konstitusi menilai penyebaran informasi yang dilakukan dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan individu. Bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.
Perbuatan yang dilarang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Ada 2 (dua) macam perbuatan pidana yang dilarang berdasarkan UU ITE, mengacu ketentuan Budapest Covention on Cyber Crime:
Pertama, larangan berbuat jahat dengan sasaran IT (computer crime): lebih dikenal dengan perbuatan illegal acces, illegal intercept, illegal interference, perbuatan jahat berupa hacking, cracking, defacing, phreaking, dos attack, malicious code (penyebaran kode jahat), malware, spyware, trojan horse, adware, virus, bot net (robot internet), phising, identity theft, dan lain-lain.
Kedua, larangan berbuat jahat dengan menggunakan IT (computer related crime): merupakan penyebaran illegal content, seperti cyber gambling, cyber terrorism, cyber fraud (penipuan kartu kredit), cyber sex, cyber attacks on critical infrastructure, cyber blackmail (pemerasan), cyber threatening (pengancaman), cyber aspersion (pencemaran nama baik), dan lain sebagainya. Dasarnya adalah norma-norma yang sudah ada di dalam KUHP (Henry Subiakto, 2021).
Adanya SKB UU ITE sebagai upaya pemerintah memberikan buku saku panduan bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan profesinya dan bukan merupakan penyelesaian final, mengingat terdapat kategori maupun kondisi tertentu yang memungkinkannya tidak mengindahkan SKB dimaksud.
Pemerintah perlu mempersiapkan perubahan Undang-undang Informasi Teknologi Elektonik dengan menyerap berbagai aspirasi masyarakat, dan stakeholder terkait secara maksimal dan efektif serta tetap mengakomodir aspirasi Pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
disadur pada artikel Kajian Analisis terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Penulis : Agung Susanto, S.H. (Magister Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada)